Dosen: Roziah, S.Pd, M.A
Nocturno ~  (fragment) karya Chairil Anwar
Aku menyeru – tapi tidak satu suara
membalas, hanya mati dibeku udara
dalam diriku terbujur keinginan
juga tidak bernyawa
membalas, hanya mati dibeku udara
dalam diriku terbujur keinginan
juga tidak bernyawa
Mimpi yang penghabisan minta tenaga
patah kepak, sia-sia berdaya
dalam cekikan hatiku
patah kepak, sia-sia berdaya
dalam cekikan hatiku
Terdampar…menginyam abu dan debu
dari tinggalannya suatu lagu
ingatan pada ajal yang menghantu
dan demam yang nanti membikin kaku
dari tinggalannya suatu lagu
ingatan pada ajal yang menghantu
dan demam yang nanti membikin kaku
Pena dan penyair keduanya mati
berpaling!!
berpaling!!
Analisis Gaya Bahasa pada puisi di atas yaitu:
1 Menurut Penjedaan
Nocturno  (Fragment)..........................................................
//Aku menyeru – tapi tidak satu suara
membalas,/ hanya mati di beku udara./
/Dalam diriku terbujur keinginan,/
juga tidak bernyawa./
/Mimpi yang penghabisan minta tenaga,/
Patah kapak,/ sia-sia berdaya,/
Dalam cekikan hatiku/
/Terdampar..../ Menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu./
/Ingatan pada Ajal yang menghantu./
Dan dendam yang nanti membikin kaku..../
..................................................
/Pena dan penyair/ keduanya mati,
Berpalingan!//
//Aku menyeru – tapi tidak satu suara
membalas,/ hanya mati di beku udara./
/Dalam diriku terbujur keinginan,/
juga tidak bernyawa./
/Mimpi yang penghabisan minta tenaga,/
Patah kapak,/ sia-sia berdaya,/
Dalam cekikan hatiku/
/Terdampar..../ Menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu./
/Ingatan pada Ajal yang menghantu./
Dan dendam yang nanti membikin kaku..../
..................................................
/Pena dan penyair/ keduanya mati,
Berpalingan!//
2 Menurut Parafrase
Nocturno  (Fragment)
.....................................................................................
Aku menyeru (,) – tapi tidak (ada) satu suara (pun yang)
membalas, (suaraku) hanya mati di beku (nya) udara.
Dalam diriku terbujur keinginan,
(agar diriku) juga tidak bernyawa.
Mimpi yang (dalam) penghabisan (nya me) minta tenaga,
(hingga) Patah kapak, sia-sia (tak) berdaya,
Dalam cekikan (di) hatiku (.)
(akhirnya aku) Terdampar... (hanya bisa) menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu.
Ingatan pada Ajal yang menghantu (sejak dulu) .
Dan dendam (ini) yang nanti (nya) membikin kaku....
......................................................................
Pena dan penyair (, akhirnya) keduanya mati,
Berpalingan!
Aku menyeru (,) – tapi tidak (ada) satu suara (pun yang)
membalas, (suaraku) hanya mati di beku (nya) udara.
Dalam diriku terbujur keinginan,
(agar diriku) juga tidak bernyawa.
Mimpi yang (dalam) penghabisan (nya me) minta tenaga,
(hingga) Patah kapak, sia-sia (tak) berdaya,
Dalam cekikan (di) hatiku (.)
(akhirnya aku) Terdampar... (hanya bisa) menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu.
Ingatan pada Ajal yang menghantu (sejak dulu) .
Dan dendam (ini) yang nanti (nya) membikin kaku....
......................................................................
Pena dan penyair (, akhirnya) keduanya mati,
Berpalingan!
3 Menurut Apresiasi Struktur Fisik dan Struktur Batin Dalam Puisi Nocturno  (Fragment) Karya Chairil Anwar adalah:
1. Struktur Fisik Puisi Chairil Anwar
a. Diksi (diction)
Pemilihan diksi penyair dalam sajak ini lebih dalam. Terlihat bahwa penyair sudah pandai dalam memilih kata. Pemilihan kata-kata yang biasa di dengar dalam kehidupan sehari-hari yang tersusun dan menjadi lebih berarti serta benar-benar mendukung maksud puisinya.
b. Imaji, daya bayang (imagery)
Penyair menggunakan citra intelektual, membayangkan proses datangnya kematian pada dirinya. Ia penggunakan citra pendengaran, Aku menyeru – tapi tidak satu suara membalas, citra gerak, Pena dan penyair keduanya mati, Berpalingan!.
c. Kata konkret (the concrete word)
Kematian dan proses berlangsungnya kematian itu pun digambarkan secara nyata oleh penyair. Dimana orang yang mati akan terbujur kaku dan lepas dari segala yang masih hidup.
d. Gaya bahasa (figurative language)
Gaya bahasa penyair dalam sajak ini sangat menarik. Dengan gambaran proses kematian sesuai dengan gambaran nyata, melalui pemilihan kata-kata yang unik. Menginyam abu dan debu. Dari tinggalannya suatu lagu. selain itu, terdapat metafora dan allegori, Pena dan penyair keduanya mati, Berpalingan!.
e. Irama dan rima (rhythm and rime)
Memiliki irama yang bergantian antara tinggi dan rendah secara teratur. sajak Chairil ini mulai terlepas dari aturan-aturan lama. Hanya pada bait kedua berirama rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa).
a. Diksi (diction)
Pemilihan diksi penyair dalam sajak ini lebih dalam. Terlihat bahwa penyair sudah pandai dalam memilih kata. Pemilihan kata-kata yang biasa di dengar dalam kehidupan sehari-hari yang tersusun dan menjadi lebih berarti serta benar-benar mendukung maksud puisinya.
b. Imaji, daya bayang (imagery)
Penyair menggunakan citra intelektual, membayangkan proses datangnya kematian pada dirinya. Ia penggunakan citra pendengaran, Aku menyeru – tapi tidak satu suara membalas, citra gerak, Pena dan penyair keduanya mati, Berpalingan!.
c. Kata konkret (the concrete word)
Kematian dan proses berlangsungnya kematian itu pun digambarkan secara nyata oleh penyair. Dimana orang yang mati akan terbujur kaku dan lepas dari segala yang masih hidup.
d. Gaya bahasa (figurative language)
Gaya bahasa penyair dalam sajak ini sangat menarik. Dengan gambaran proses kematian sesuai dengan gambaran nyata, melalui pemilihan kata-kata yang unik. Menginyam abu dan debu. Dari tinggalannya suatu lagu. selain itu, terdapat metafora dan allegori, Pena dan penyair keduanya mati, Berpalingan!.
e. Irama dan rima (rhythm and rime)
Memiliki irama yang bergantian antara tinggi dan rendah secara teratur. sajak Chairil ini mulai terlepas dari aturan-aturan lama. Hanya pada bait kedua berirama rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa).
2. Struktur Batin Puisi Chairil Anwar
a. Tema-arti (sense)
Ternyata maut masih menggelayuti pikirannya, dalam puisi ini penyair menggambarkan proses datangnya kematian. sang penyair bahkan seakan meramalkan sendiri bahwa hidupnya akan singkat.
b. Rasa (feeling)
Penyair bersikap lebih mengerti dan semakin dapat menerima bahwa kematian memang sudah seharusnya datang dan harus diterima kapanpun sang kematian itu ingin datang.
c. Nada (tone)
Penyair masih bersikap rendah hati, isi sajaknya hanya menyatakan isi perasaannya dan kita sebagai pembaca dapat mengerti apa yang sebenarnya dirasakan penyair yang dia ungkapkan melalui sajaknya ini.
d. Tujuan, amanat (intention)
penyair hanya ingin menyatakan pandangan hidupnya serta keyakinannya akan sesuatu yang dinamakan kematian.
a. Tema-arti (sense)
Ternyata maut masih menggelayuti pikirannya, dalam puisi ini penyair menggambarkan proses datangnya kematian. sang penyair bahkan seakan meramalkan sendiri bahwa hidupnya akan singkat.
b. Rasa (feeling)
Penyair bersikap lebih mengerti dan semakin dapat menerima bahwa kematian memang sudah seharusnya datang dan harus diterima kapanpun sang kematian itu ingin datang.
c. Nada (tone)
Penyair masih bersikap rendah hati, isi sajaknya hanya menyatakan isi perasaannya dan kita sebagai pembaca dapat mengerti apa yang sebenarnya dirasakan penyair yang dia ungkapkan melalui sajaknya ini.
d. Tujuan, amanat (intention)
penyair hanya ingin menyatakan pandangan hidupnya serta keyakinannya akan sesuatu yang dinamakan kematian.